Kamis, 04 Maret 2010

Tan Malaka: Kosmopolit Revolusioner

/ On : 3/04/2010/ Terimakasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang sederhana ini. Semoga memberikan manfaat meski tidak sebesar yang Anda harapakan. untuk itu, berikanlah kritik, saran dan masukan dengan memberikan komentar. Jika Anda ingin berdiskusi atau memiliki pertanyaan seputar artikel ini, silahkan hubungan saya lebih lanjut via e-mail di herdiansyah_hamzah@yahoo.com.


Tan Malaka: Kosmopolit Revolusioner
(Isa Alïmusa – Amsterdam)

Banyak pertanyaan mengenai perjuangan pasca kemerdekaan Indonesia (1945-1949) terjawab sudah. Harry Poeze, sejarawan dan politikolog asal Leiden, Belanda, selama 27 tahun (!) menyusun sebuah buku mengenai aktivis revolusioner Tan Malaka. Musim panas 2007 silam, buku tiga jilid seberat 4,6 kilo dan terdiri dari 2211 halaman serta 6052 catatan kaki ini akhirnya dapat diterbitkan.

Sesaat sebelum manuskrip siap dicetak, musibah menimpa: seluruh data registrasi tokoh dan nama tempat hilang di komputer Poeze. Untung, segenap anggota keluarga dan beberapa kolega di Universitas Leiden berhasil mengumpulkan data-data berharga itu dalam waktu singkat. Apalagi, buku ini bukan sekedar biografi Tan Malaka.

Untuk pertama kali, konflik antara Belanda dan Republik Indonesia diuraikan secara detail, dengan titik berat di sisi Indonesia. Buku berjudul Verguisd en Vergeten (Tercela dan Terlupakan) menggambarkan pertikaian di antara banyak partai dan grup yang waktu itu jauh lebih tajam ketimbang perjuangan melawan Belanda.

Menurut Poeze, kemerdekaan Indonesia seperti suatu keajaiban. “Terutama mencermati ketidakseragaman paham di partai-partai golongan kiri. Kalau saja golongan tersebut waktu itu bisa bermufakat mengambil satu keputusan, mungkin Indonesia sekarang adalah Republik Sosialis,” tambahnya dari ruang kerjanya yang dipenuhi tumpukan buku dan guntingan surat kabar.

Tokoh utama Verguisd en Vergeten adalah Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka yang lahir di Desa Pandan Gadang, Sumatra Barat. Ia sempat menikmati pendidikan di Haarlem, Belanda, dan ‘berguru’ pada pemuka komunis Belanda, Henk Sneevliet. Sneevliet pernah menjabat gubernur jenderal di Hindia Belanda dan mencoba mendirikan partai komunis di Indonesia. Tan Malaka tinggal di Bussum, Belanda Utara, antara 1915-1920 dan aktif di Communistische Internationale (Komintern) untuk kawasan Asia Timur, meski ia bukan penganut aliran komunis di Moskwa.

Ia terpilih menjadi ketua Partai Komunis Indonesia pada tahun 1921. Merasa terancam dengan pemerintah Hindia Belanda, Tan Malaka hengkang ke Belanda di tahun 1922 dan diterima dengan tangan terbuka oleh Partai Komunis Belanda CPH (Communistische Partij Holland). Bahkan, CPH mengirimnya ke Kongres Komintern IV di Moskwa.

Selanjutnya, Komintern menugaskan Malaka mewakili kepentingan mereka di Asia Tenggara mulai 1923. ‘Pengembaraan’ Malaka di Asia berlangsung sekitar 20 tahun dan lambat laun ia mulai punya ide sendiri seputar revolusi Asia. Bagi sebagian kaum nasionalis Indonesia, ia dianggap tokoh revolusioner dan legendaris.

Di tahun 1922, Tan Malaka melontarkan ide Pan-Islamisme. Ia menganggap, partai ‘radikal’ Sarekat Islam dapat ditaklukkan dan ingin membentuk masyarakat sosialis. Tetapi sewaktu PKI di tahun 1926 mendapat dukungan Stalin untuk kudeta, ia berubah haluan. Menurutnya, waktunya belum matang dan ia menentang makar yang dipimpin oleh penerusnya, Moeso dan Alimin. Tan Malaka lebih setuju dengan aksi massa. Sayang, aksinya gagal.

Kegagalan aksinya menyebabkan ia kehilangan kontak dengan PKI dan Komintern, walaupun jiwa berontaknya tetap berkobar. “Ia boleh dibilang arketipe revolusioner,” ujar Poeze. “Keyakinan dan pendiriannya begitu kuat. Ia rela mengorbankan banyak hal. Bisa dibandingkan dengan Ho Chi Minh dan Che Guavara,” lanjut Poeze.

Stalinis atau Trotskis?

Komunis di Moskwa sejak 1927 menyebut Tan Malaka penganut ide musuh besar Stalin – Leon Trotski. “Sama sekali tidak benar,” jelas Poeze. “Tan Malaka adalah seorang komunis tetapi bukan Stalinis, meskipun di dalam bukunya Thesis (1946) ia sempat menggarisbawahi pemikiran Stalin,” imbuhnya. Malaka mencoba bergabung lagi dengan PKI.

Namun, kaum komunis yang kembali dari pengasingan di Belanda dan Australia – setelah pendudukan Jepang di Indonesia berakhir – menolak Tan Malaka. Ia sendiri hidup jauh dari kecukupan dan berambisi menerapkan paham komunis Marxistis pada situasi di Indonesia. Ia harus berjuang sendirian di tengah kemiskinan. Inventarisnya waktu itu cuma sebuah helm, tongkat untuk berjalan, sepatu dan alat tulis.

Selama pendudukan Jepang, sekitar tahun 1942, Malaka diam-diam kembali ke Indonesia. Terbiasa hidup tak dikenal atau incognito di Cina, ia pun membuat nama samaran Iljas Hussein dan memutuskan menetap di Jawa Barat. Ia sempat bertolak ke Jakarta pada 6 Agustus 1945 menjelang Jepang dikapitulasi. Ia tetap memakai nama alias dan menyayangkan tak bisa melihat detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945.

Di tahun 20-an ia sering disebut Bapak Republik Indonesia. Ia yang pertama kali membuat sketsa bentuk negara Indonesia dengan paham sosialis. Pihak kolonial Belanda pun mengganggap Tan Malaka sebagai ancaman serius. Ia sendiri tidak hadir sewaktu Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, kendati sesudahnya ia sempat berbicara beberapa kali dengan Presiden Soekarno.

Iljas Hussein bertatap muka dengan Soekarno pada 9 September 1945. Soekarno amat terkesan dengan Tan Malaka dan spontan menunjuknya sebagai penggantinya kelak. Hatta keberatan dan akhirnya Soekarno membuat ‘testamen politik’ berisi empat calon pengganti presiden dan wapres, jika kedua pemimpin negara tiba-tiba wafat. Surat wasiat tersebut seakan jadi senjata pamungkas Tan Malaka. Mengantungi testamen itu, ia leluasa menggalang massa di Jawa, kendati tetap menggunakan nama Iljas Hussein.

Rekan seperjuangan jadi musuh dalam selimut

Bulan-bulan selanjutnya Tan Malaka mulai menunjukkan sifat progresifnya. Di sebuah rapat terbuka pada 4 Januari 1946, Iljas Hussein membuka jati diri sebenarnya. Ia melansir slogan ‘100% Merdeka’ dan membentuk barisan kiri Persatuan Perjuangan. Selain kemerdekaan Indonesia sepenuhnya, Malaka berencana 'menganeksasi' seluruh pabrik dan perusahaan Belanda.

Ia sangat antipati dengan sikap Soekarno dan Hatta terkait perundingan dengan Belanda. Konsep taktik gerilya sudah dirancangnya. Klimaks perjalanan karir politiknya dicapai di tahun 1946 dengan didirikannya front kiri Persatuan Perjuangan. Hanya saja, ambisinya dapat dibendung oleh Soekarno.

Sepintas, Tan Malaka dengan partainya ada di pucuk pimpinan revolusi. Sjahrir mengundurkan diri pada 23 Januari 1946. Soekarno dan Hatta disudutkan dan tak punya alternatif lain. PKI mendukung langkah diplomatis Sjahrir. PKI sudah muak dengan Tan Malaka dan menganggapnya sosok komunis berbahaya.

Soekarno dan Hatta pun mendukung Sjahrir dan memerintahkan untuk membentuk kabinet baru. Prioritas program kerja kabinet Sjahrir adalah menumpas oposisi. Tan Malaka ditangkap pada 17 Maret 1946 dan dijebloskan ke penjara selama 2,5 tahun. Pamornya drastis pudar dan perannya di panggung politik sirna.

Walaupun Tan Malaka cakap berpidato, ia jarang tampil di depan publik. Jabatan menteri dan pimpinan partai ditolaknya hingga dua kali. Kritiknya yang pedas terhadap TNI juga seringkali menyebabkan ia harus bersitegang dengan Jenderal Sudirman. “Tan Malaka menyia-nyiakan kesempatan untuk duduk di pusat kekuasaan politik. Perjalanan hidupnya seperti terkoyak,” jelas Poeze.

Ia menjabarkan secara mendetail Peristiwa 3 Juli 1946, penculikan Sjahrir oleh sisa-sisa anggota Persatuan Perjuangan dan pemberontakan Madiun. Poeze menyimpulkan, Tan Malaka bukan otak di balik rangkaian insiden tersebut. “Uni Soviet berganti ideologi semasa Perang Dingin dan menekankan anti kapitalisme. PKI dipaksa membatalkan Perjanjian Renville dan Linggadjati. Padahal, ketua PKI Amir Sjarifuddin sudah menandatangani perjanjian itu,” jelas Poeze.



“Latar belakangnya sebagai seorang pendidik banyak mempengaruhi jalan hidupnya. Seorang guru berkewajiban memberi pengarahan dan bukan tampil berlebihan,” lanjut Poeze. Menurutnya, Tan Malaka seperti ‘terlewat oleh sejarah’. Soekarno, Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir waktu itu menganggap Tan Malaka sudah membahayakan dan surat penahanan dikeluarkan di pertengahan Maret 1946.

Dua setengah tahun kemudian, 15 September 1948, Tan Malaka dibebaskan. Ia bertekad membentuk gerakan ‘tandingan’ PKI atau semacam diktatur proletariat. Ia mendirikan Partai Murba (Musyawarah Masyarakat Banyak). Pemberontakan PKI di Madiun di penghujung 1948 – seperti di tahun 1926 – dapat digagalkan.

Poeze menegaskan, berdasarkan bukti akurat, bahwa kudeta PKI di Madiun dimotori oleh pemimpin tertinggi di organisasi tersebut dan bukan bersifat lokal atau sekedar provokasi. “Sulit diperdebatkan obyektivitasnya. Sebagian menyebut Moeso diperintah oleh Moskwa, ada pula yang bersikeras adu domba di tubuh partai,” paparnya.

Sewaktu Agresi Militer II berlangsung, Tan Malaka dilindungi oleh seorang war-lord dan mengungsi ke Jawa Timur. Megaloman Tan Malaka bahkan memproklamirkan diri sebagai Presiden Indonesia dan bukan bekas tahanan politik Soekarno.

Hanya riak di lautan revolusi Indonesia

Tan Malaka tak dapat terlalu lama menikmati kebebasannya. Tahun 1948, sewaktu Belanda disibukkan dengan Agresi Militer II, ia bergabung dengan kelompok gerilya di Jawa Timur di bawah pimpinan Sabarudin. Sabarudin dan tentaranya sepaham dengan ide komunis Tan Malaka dan menyulut konflik dengan TNI.

Apalagi, Tan Malaka menyebarkan pamflet yang mendiskreditkan TNI sebagai bagian pemerintah. Ia terpaksa makin sering sembunyi dan kehilangan orang yang harus melindunginya. Tan Malaka akhirnya ditangkap di Desa Selopanggung, Kediri, pada 21 Februari 1949.

Peleton TNI yang menangkapnya waktu itu berada di bawah pimpinan Letnan Dua Sukoco. Poeze menulis, “Sukoco tidak punya banyak waktu dan harus cepat mengambil keputusan. Ia memerintahkan Suradi Tekebek untuk mengeksekusi Tan Malaka. Ia dikubur oleh warga setempat dengan nisan tanpa nama.”

Perjuangan Tan Malaka seakan berakhir tanpa gaung. Presiden Soekarno memberi status Pahlawan Nasional baginya di tahun 1963 dan Presiden Soeharto mencabut gelar tersebut. Usaha Poeze untuk menulis biografi Tan Malaka sepertinya membuahkan hasil positif, terutama di kalangan mahasiswa Tan Malaka kembali jadi hot-item di Indonesia. Kementerian Sosial pun sempat meneliti kembali di mana ia dikuburkan. Bahkan, 2009 lalu ‘makam’ Tan Malaka dibongkar untuk penyelidikan forensik.

Kendati demikian, banyak yang menyebut tulisan Poeze wishful-thinking di Belanda. Harry Poeze adalah peneliti dan bukan penulis sejarah. Bukunya bukan bacaan, melainkan rujukan riwayat hidup seseorang. Ia mengumpulkan ratusan fakta, peristiwa, pamflet, majalah, koran, nara sumber asing dan kutipan panjang di catatan kaki. Karyanya dibilang petite-histoire atau hanya noktah sejarah yang membahas sosok marginal di Indonesia.

Awal 2007 silam, Harry Poeze di Jakarta menyatakan 99,99% tahu pasti tempat peristirahatan terakhir Tan Malaka. Bagaimana jika ternyata kebenaran ada di 0,01% sisanya? Poeze hanya tersenyum penuh arti.



>>Sumber: Harian Noordhollands Dagblad “Monument voor Tan Malaka” (08-09-2007) dan majalah Historisch Nieuwsblad “Een kosmopolitisch revolutionair” (Oktober 2007)<<

Tidak ada komentar:

Pose di Sluke

Pose di Sluke
Bergaya sejenak di tengah kesibukan

Pemantapan

Pemantapan
Presentasi di kecamatan Sumber Rembang

Paparan

Paparan
pemantapan tim sukses Kec Sarang