Kamis, 04 Maret 2010
Bung Karno Lompat ke Meja
Posted by
Unknown
/ On : 3/04/2010/ Terimakasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang sederhana ini. Semoga memberikan manfaat meski tidak sebesar yang Anda harapakan. untuk itu, berikanlah kritik, saran dan masukan dengan memberikan komentar. Jika Anda ingin berdiskusi atau memiliki pertanyaan seputar artikel ini, silahkan hubungan saya lebih lanjut via e-mail di herdiansyah_hamzah@yahoo.com.
Bung Karno Lompat ke Meja
Sukarno yang masih 16 tahun itu tiba-tiba saja melompat ke meja. Padahal yang mendapat giliran bicara adalah ketua studie-club. Tapi Sukarno tidak perduli. Belum habis keterkejutan orang dengan tindakan beraninya itu, Sukarno langsung menyambar dengan pidatonya. Isinya sangat berani.
Terang-terangan diteriakkannya ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pendidikan di masa itu. Dengan lantang dia protes jika bahasa Belanda lebih dinomorsatukan daripada bahasa Melayu (ketika itu belum bernama bahasa Indonesia).
Sukarno nyerocos, “Saya berpendapat, bahwa yang harus kita kuasai pertama-tama lebih dulu adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing”.
Lebih lanjut diuraikannya alasannya secara panjang lebar. Logis dan jelas. Itulah pidato pertamanya di depan umum. Walaupun cuma di depan murid-murid dan guru-guru Belanda di sekolahnya. Isi pidatonya bikin geger. Teman-temannya terpana kagum. Tapi pihak sekolah kalang kabut.
Sukarno dan teman-teman sekolah
Direktur sekolahnya, Meneer Bot geleng-geleng kepala. “Ooooh...Sukarno ini mau bikin susah”.
Kata-kata Meneer Bot itu memang benar. Beberapa waktu sesudahnya, setiap pidato Sukarno terbukti mampu membakar rakyat.
Dalam tulisan saya berjudul “Bung Karno Seniman Teater”, sudah saya tulis bagaimana awalnya hingga Sukarno termotivasi untuk tampil di depan umum. Sekarang bagaimana awal inspirasi Sukarno hingga bisa menjadi singa podium?
“No, apa kau gila?...apa kau sakit?”, begitu tetangga-tetangga berteriak pada Sukarno remaja.
Orang-orang itu memang merasa terganggu kalau Sukarno sudah mulai “kumat”. Soalnya Sukarno memang sering teriak-teriak berpidato sendiri di kamar kost-nya. Kamar kandang ayam. Begitu Sukarno menamakan kamarnya. Karena kamar itu tanpa jendela, tanpa pintu dan selalu gelap. Kamar itu terpisah dari rumah utama, yang dihuni oleh tokoh pergerakan terkenal, HOS Tjokroaminoto.
Biarpun diprotes tetangga, tapi Sukarno sambil berdiri di atas meja goyah terus saja teriak-teriak ngoceh sendiri. Kayak orang sinting. Akibatnya orang-orang yang kesal itu cuma bisa bilang, “Ah, si No itu cuma mau menyelamatkan dunia lagi”.
Walau masih remaja, pikiran cerdas Sukarno sudah dipenuhi kegelisahan tentang ketidakadilan yang harus ditelan bangsanya. Ekspresi kepeduliannya itu dilepaskannya dengan cara berorasi sendiri. Meneriakkan ide-ide yang tak bisa dikendalikan, meluap melalui pidatonya di kamarnya yang sepi tanpa siapapun.
Ketika bersekolah di HBS Surabaya, Sukarno mondok di rumah kenalan ayahnya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam. Kita tahu, Utari salah satu putri Tjokroaminoto kemudian dinikahi “kawin gantung” oleh Sukarno, walaupun hanya singkat. Pernikahan yang diusulkan oleh saudara Pak Tjokro itu diakui Sukarno tak mampu ditolaknya karena merasa berhutang budi. Namun akhirnya Utari dikembalikan Sukarno ke orangtuanya tanpa pernah “disentuh”.
Sebagai ketua pergerakan, Pak Tjokro sering harus berpidato di hadapan massa. Sukarno selalu mengikuti kemana saja Pak Tjokro pergi berpidato. Karena memang boleh dikatakan Soekarno itu “buntutnya” Pak Tjokro. Kemana Pak Tjokro pergi, ke situ pula Sukarno ikut. Di situlah Bung Karno mulai mengamati teknik berorasi Pak Tjokro, tokoh idolanya itu. Diamatinya dengan cermat. Semua itu terekam dengan baik di ingatannya, hingga disadarinya sesuatu.
Pak Tjokro yang sangat dihormatinya itu jelas lebih berpengalaman sebagai pemimpin. Tapi setelah mempelajari pidato Pak Tjokro, Bung Karno tahu, dia bisa berpidato lebih baik dari tokoh panutan itu.
Kekurangan-kekurangan Tjokroaminoto dalam “public speaking” adalah cermin baginya yang kemudian membuatnya menjadi orator ulung di kemudian hari.
Kita tahu, bangsa Indonesia sejak dulu hingga kini tumbuh dalam budaya paternalistik. Artinya orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman dianggap panutan. Maka yang muda harus mencontohnya. Kita diajarkan, belajarlah dari orang tua, karena mereka berpengalaman. Ini bukannya tanpa dampak negatif.
Dampak negatifnya, orang-orang tua enggan “mendengar” orang muda. Mungkin saja orang muda itu benar. Tapi tetap kita sering dengar kata-kata khas orangtua, “Tahu apa kamu, ojo keminter, jangan menggurui”. Akibatnya yang muda menjadi tidak kreatif dan tidak punya inisiatif. Karena budaya membuat anak muda mesti manut saja. Cuma terpaku pada pola yang sudah pakem, yaitu dari sang panutan. Kearoganan orang tua yang ogah belajar dari yang muda (alasannya, mana ada orang muda lebih pandai) membuat pengetahuan mandeg dan itu-itu saja. Hasilnya, derap ke arah kemajuan terasa lamban.
Sukarno yang tumbuh dalam budaya ini, sejak remaja sudah menunjukkan jiwanya sebagai pendobrak dan pelopor. Dia tidak begitu saja menerima semua yang didengarnya dan yang dilihatnya. Walaupun itu tokoh panutan sekalipun. Lebih berpengalaman tidak selalu berarti lebih baik.
Itulah beda Sukarno dengan remaja sebayanya di masa itu. Ciri-cirinya sebagai calon pemimpin besar sudah tampak sejal awal.
Bung Karno mengakui pengaruh besar Pak Tjokroaminoto terhadap rakyat. Tapi setelah mengikuti pidato-pidatonya, Bung Karno merasa pidato Pak Tjokro monoton dan tidak bergaram.
Monoton artinya, tidak mengatur kapan harus meninggikan atau merendahkan suara. Tidak bergaram maksudnya, pidato Pak Tjokro tidak punya sentuhan humor. Atau menurut istilah Bung Karno, “Tak pernah membuat lelucon”.
Belajar dari kekurangan-kekurangan teknik orasi Tjokroaminoto tadi, Sukarno menemukan gaya orasinya sendiri.
Pertama, dia menarik perhatian pendengarnya, kemudian “...aku tidak hanya menarik, bahkan kupegang perhatian mereka. Mereka terpaksa mendengarkan. Suatu getaran mengalir ke sekujur tubuhku ketika mengetahui, bahwa aku memiliki suatu kekuatan yang dapat menggerakkan massa”. Begitu kata Sukarno. Dan begitu juga kata Plato, retorika (ilmu berbicara) adalah sarana mempengaruhi rakyat.
Ketika Sukarno melompat ke meja, itulah caranya menarik perhatian. Selain itu juga memang diakui Sukarno, dirinya adalah orang yang emosional. Dan apa rahasianya hingga pidato Sukarno mampu menyihir orang untuk tetap terpaku mendengar dan percaya apa yang dikatakannya?
Modalnya terutama bagaimana merangkai kalimat indah berseni namun efektif, cerdas dan bermakna dengan cara sederhana. Orang tidak sekolah juga bisa mengerti maksudnya. Orang yang suka ngantuk pun mendadak melek. Kalimat Sukarno bukan nasihat hipokrit memuakkan, omong kosong, klise yang sudah basi didengar orang ribuan kali, sampai anak bayi juga tahu.
Seni berbicara di depan publik, tidak sekedar menyampaiKEN dan orang-orang mendengarKEN.
Bung Karno juga tahu kapan saatnya memberi jedah di tengah kalimat. Diam sejenak. Maksudnya memberi waktu beberapa detik pada pendengar untuk meresapi kalimat yang tadi baru dikatakannya. Sebaliknya Bung Karno juga tahu kapan saatnya harus nyerocos bak mitraliyur tanpa koma tanpa titik dengan nada cepat namun jelas, yang sangat ampuh membakar massa. Sesudah itu terdengar gemuruh tepuk tangan tanpa henti.
Di tengah tepuk tangan itu, dengan cerdik dia menumpuk kembali kalimat demi kalimat yang tujuannya mengaduk-aduk dan menyeret emosi massa. Klimaks-nya? Ketika massa sudah mendidih, Sukarno “memantik api” hingga berkobar, dengan tangan terkepal, berapi-api sambil garang segarang-garangnya bak halilintar membelah bumi diteriakkannya kata ......MERDEKA!!! MERDEKA!!! MERDEKA!!!
Walentina Waluyanti
Nederland, 23 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar